Pada zaman dahulu kala, ada Lima Saudara dari China dan mereka semua terlihat persis sama. Mereka tinggal bersama ibu mereka di sebuah rumah kecil yang tidak jauh dari laut. Masing-masing dari mereka ternyata memiliki keistimewaan sendiri.
Saudara Pertama mampu menelan laut, saudara Kedua mempunyai leher besi, saudara Ketiga dapat memanjangkan tangan dan kakinya, saudara Keempat tidak dapat dibakar, dan Saudara Kelima dapat menahan nafas tanpa batas waktu.
Setiap pagi Saudara Pertama akan pergi ke Ashing, dan apa pun cuacanya, dia akan kembali ke desa dengan membawa ikan-ikan indah dan langka yang dia tangkap kembali dan dapat dijual di pasar dengan harga yang sangat bagus.
Suatu hari, ketika dia meninggalkan pasar, seorang anak kecil menghentikannya dan bertanya apakah dia boleh pergi memancing bersamanya. Saudara Pertama menolak permohonan anak kecil itu, namun anak kecil itu terus memohon hingga akhirnya Saudara Pertama menyetujuinya.
Keesokan paginya, Saudara Pertama dan anak kecil itu pergi ke pantai. Setibanya di Pantai, Saudara Pertama itu mengingatkan anak kecil untuk mematuhinya dan saat memberi tanda agar Kembali dia harus segera datang. Anak kecil itu pun berjanji akan mematuhinya.
Kemudian Saudara Pertama menelan laut, dan semua ikan dibiarkan tinggal dan kering di dasar laut. Dan seluruh harta karun laut terbongkar. Anak kecil itu sangat senang, dia berlari kesana kemari sambil mengisi sakunya dengan kerikil aneh, kerang, dan ganggang yang fantastis, luar biasa.
Di dekat pantai, Saudara Tionghoa Pertama mengumpulkan beberapa ikan sambil terus menahan air laut di mulutnya. Saat ini dia menjadi lelah, dan sangat sulit untuk menahan laut. Jadi dia memberi tanda dengan tangannya agar anak kecil itu kembali. Anak kecil itu melihatnya tetapi tidak mempedulikannya.
Saudara Pertama membuat gerakan hebat dengan tangannya yang berarti segera kembali, namun anak kecil itu tidak peduli dan lari semakin jauh. Kemudian Saudara Pertama merasakan lautan menggembung di dalam dirinya, dan dia membuat gerakan putus asa untuk memanggil anak kecil itu kembali.
Anak kecil itu menatap ke arahnya dan melarikan diri secepat yang dia bisa. Saudara Tionghoa Pertama menahan lautan sampai dia mengira akan meledak. Tiba-tiba laut keluar dari mulutnya, kembali ke dasar dan anak kecil itu menghilang.
Saat Saudara Pertama kembali ke desa, sendirian, dia ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara, diadili dan dijatuhi hukuman pemenggalan kepala. Pada pagi hari pelaksanaan hukuman eksekusi, dia berkata kepada hakim agar mengizinkannya pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada ibunya. Hakim pun menyetujuinya.
Maka Saudara Tionghoa Pertama pulang, dan Saudara Kedua mengisi tempatnya. Seluruh masyarakat berkumpul di alun-alun desa untuk menyaksikan eksekusi tersebut, lalu Algojo mengambil pedangnya dan melancarkan pukulan yang dahsyat. Namun Saudara Tionghoa Kedua bangkit dan tersenyum, dialah yang memiliki leher besi dan mereka tidak dapat memenggal kepalanya.
Semua orang marah dan mereka memutuskan, bahwa dia harus ditenggelamkan. Pada pagi hari pelaksanaan eksekusi, Saudara Kedua berkata kepada hakim agar mengizinkannya pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada ibunya. Hakim pun menyetujuinya, lalu Saudara Kedua pulang ke rumah dan Saudara Ketiga menggantikan tempatnya.
Dia didorong di atas perahu yang menuju laut lepas. Saat mereka berada jauh di lautan, Saudara Tionghoa Ketiga terlempar ke laut. Tapi dia mulai mengulur kakinya turun ke dasar laut, dan sepanjang waktu wajahnya yang tersenyum terombang-ambing di puncak ombak. Dia tidak bisa ditenggelamkan. Semua orang sangat marah, dan mereka semua memutuskan bahwa dia harus dibakar.
Pada pagi hari pelaksanaan eksekusi, Saudara Ketiga berkata kepada hakim agar mengizinkannya pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada ibunya. Hakim pun mneyetujuinya, lalu Saudara Ketiga pulang ke rumah dan Saudara Keempat menggantikan tempatnya.
Saat hari eksekusi dia diikat pada sebuah tiang, lalu api dinyalakan dan semua orang berdiri di sekelilingnya menyaksikannya. Di tengah-tengah api yang berkobar mereka masih mendengarnya berkata, bahwa hal ini menyenangkan.
Orang-orang pun berteriak agar dibawakan lebih banyak kayu, hingga api berkobar semakin tinggi. Di Tengah kobaran api yang besar, Saudara Keempat justru mengatakan bahwa dia merasa nyaman. Semua orang menjadi semakin marah setiap menitnya dan mereka semua memutuskan untuk membekapnya.
Pada pagi hari pelaksanaan eksekusi, Saudara Keempat berkata kepada hakim agar mengizinkannya pergi dan mengucapkan selamat tinggal pada ibunya. Hakim pun menyetujuinya, lalu Saudara Keempat pulang ke rumah dan Saudara Kelima menggantikan tempatnya.
Sebuah oven batu bata besar telah dibangun di alun-alun desa dan semuanya diisi dengan krim kocok. Saudara Tionghoa Kelima dimasukkan ke dalam oven, tepat di tengah-tengah krim, pintunya tertutup rapat, dan semua orang duduk menunggu.
Mereka tinggal di sana sepanjang malam dan bahkan beberapa saat setelah fajar, hanya untuk memastikan. Kemudian mereka membuka pintu dan menariknya keluar. Saat keluar ternyata Saudara Kelima masih hidup, dan dia mengatakan bahwa dia telah tidur nyenyak.
Semua orang menatap dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Kemudian hakim melangkah maju dan berkata, bahwa dia pasti tidak bersalah karena segala cara sudah dicoba namun mereka masih gagal mengeksekusinya. Orang-orang pun sepakat dengan ucapan hakim, jadi mereka membiarkannya pergi dan pulang.